Saat aku kelas 2 SMA, aku pernah menulis cerpen berjudul Lonceng Kematian. Paragraf pertamanya dimulai seperti ini: Sepertinya malam telah menelan keramaian kota. Kengerian tercipta seiring dengan munculnya suara binatang malam. Hujan baru saja reda, tapi rintiknya masih sedikit ada. Sesaat lagi, jarum panjang menyelesaikan tugasnya yang sangat panjang, berputar-putar seperti komedi putar, berkeliling menempuh angka satu ke angka lain. Dan ini dikerjakan selama 24 jam, tak pernah mengeluh ‘aku sudah lelah’.
Saat kini aku membacanya, aku merasa bahwa paragraf itu terlalu membosankan. Seiring dengan bertambahnya ilmu dengan mengikuti beberapa workshop kepenulisan, membaca beberapa novel dan cerpen, dan mengikuti saran dari beberapa penulis panutan, aku mulai sadar bahwa memulai cerita itu sama sulitnya dengan menulis cerita itu sendiri.
A.S Laksana, sebagai salah satu panutan dalam menulis, pernah bilang di buku Creative Writing, bahwa para penulis yang baik selalu memikirkan kalimat pertama yang kuat untuk membuka cerita mereka. Wah, berarti dari kalimat pertama pun, kita harus sudah harus memikat pembaca untuk membaca cerita kita. Masih kata A.S Laksana, jangan membuka novel-novelmu dengan matahari.
Pasti, kamu pernah sangat familiar dengan pembuka cerita seperti ini :
Matahari menyiratkan warna keemasan di ufuk timur, saat langkah kakiku…dan seterusnya.
Membuka novel dengan deskripsi tentang ‘matahari’ atau ‘jam berdering, lalu kita terlambat ke sekolah’ adalah sesuatu yang sudah sering dilakukan. Aku sekarang berusaha untuk menghindarinya.
Raditya Dika pernah memberi nasihat saat workshop kepenulisan tentang teknik membuka novel. Ada dua cara untuk membuka sebuah novel/bahkan cerpen.
Pertama, mulailah dengan sebuah adegan
Kita bisa belajar cara membuka sebuah cerita dari sebuah film. Film Spiderman: Homecoming dibuka dengan adegan perebuatan kekuasaan atas barang-barang rongsokan bekas pertempuran Avengers dan Allien. Film-film James Bond selalu dibuka dengan adegan mendebarkan ketika Bond mengejar penjahat. Novel Sunset Bersama Rosie karya Tere Liye dibuka dengan Bom Bali.
Dari kalimat pertama, kemudian paragraf, lalu Bab Pertama kita sudah harus memikat pembaca.
Kedua, mulailah dengan sebuah quote/pendapat/perasaan tokoh terhadap suatu hal
Bukalah ceritamu dengan quote indah tentang cinta, pendapat tentang sesuatu, atau perasaan dari sang tokoh tentang rasa cinta, benci, atau hal-hal yang berkaitan dengan cerita.
Belajar membuat kalimat/paragraf pertama ternyata sulit. Harus dibaca, diedit, dibaca lagi, sampai menemukan yang pas. Kita juga bisa belajar dari para penulis-penulis terbaik yang jadi panutan kita. Atau, baca lagi novel-novel yang kita suka. Amati lagi bagaimana para penulis itu membuka novel mereka.
Nah, berikut adalah 5 pembuka novel yang kusuka. Aku hanya akan menulis paragraf pembukanya saja. Selanjutnya, kamu bisa membaca sendiri kelanjutannya.
Apakah ada yang menjadi favoritmu?
Pertama, The Fault in Our Stars, John Green
Di penghujung musim dingin usia ketujuh belasku, Mom menyimpulkan aku depresi. Mungkin karena aku jarang keluar rumah, menghabiskan cukup banyak waktu di tempat tidur, bolak-balik membaca buku yang sama, jarang makan, dan menghabiskan cukup banyak waktu luangku yang berlimpah itu untuk memikirkan kematian.
Green langsung mengarahkan kita pada situasi tokoh yang depresi karena penyakitnya. Digambarkan dengan cukup apik dalam satu paragraf pendek. Ini adalah paragraf pembuka novel favoritku.
Kedua, Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh, Dee Lestari
Kedua pria itu duduk berhadapan. Kehangatan terpancar dari mata mereka. Rasa itu memang masih ada. Masa sepuluh tahun tidak mengaratkan esensi, sekalipun menyusutkan bara. Tidak lagi bergejolak, tapi hangat. Hangat yang tampaknya kekal. Bukankah itu yang semua orang cari?
Dee selalu memiliki irama yang menarik di setiap paragrafnya. Sesuatu yang menarik untuk membuka sebuah cerita.
Ketiga, The Maze Runner, James Dashner.
Anak laki-laki itu memulai kehidupan barunya, diselimuti kegelapan yang dingin dan udara pengap serta berdebu.
Singkat. Tapi jelas menggambarkan bahwa tokoh utamanya akan memulai kehidupan baru yang sangat menyulitkan.
Keempat, White as Milk, Red as Blood, Alessandro D’Avenia
Setiap hal memiliki warna. Setiap perasaan memiliki warna. Kesunyian itu putih. Putih memang warna yang kubenci: warna yang tak memiliki batas. Mengibarkan bendera putih, membiarkan kertas tetap putih, memiliki rambut putih, muka yang seputih kapas…malaham, putih itu sebenarnya bukanlah warna. Putih bukanlah apa-apa, sebagaimana kesunyian. Hal yang tak berarti apa-apa, tanpa kata dan tanpa irama. Dirundung kesunyian sama artinya dengan dirundung warna putih.
Satu paragraf cantik yang menggambarkan warna putih, sesuatu yang menjadi roh dari cerita di novel ini.
Kelima, Angels and Demons, Dan Brown
Fisikawan Leonardo Vetra mencium bau daging terbakar, dan dia tahu itu dagingnya sendiri. Dengan ngeri, dia menatap sosok gelap yang menjulang di atas tubuhnya. “Kau mau apa?”
Dan Brown adalah salah satu pengarang cerdas sekarang ini. Dia selalu membuka novel-novelnya dengan adegan mendebarkan, dan menjadi inti cerita. Love it.
Jadi, bagaimana pembuka ceritamu? Adegan seru, atau kalimat romantis?
No responses yet