Mendapatkan ruh cintanya seperti menanti elok pelangi setelah mendung dan hujan. Lama. Namun berakhir indah. Dan aku ingin meminta kepada Sang Khalik agar Dia menghentikan waktu-Nya. Agar burung-burung tetap terbang rendah, bunga-bunga tetap bermekar wangi seperti di surga. Dan hijau rerumputan sebagai alas tidur, menatap mega, sambil membayangkan imaji-imaji yang belum pasti. Mimpi-mimpi yang ingin kujamah bersamanya. Tapi itu dulu saat aku bersama dia.
Kini, lebih tepatnya sebulan lalu, dia menjatuhkan api ke hatiku ditambah sebotol bensin yang langsung membumihanguskan nyala cinta. Bunga-bunga menjadi cokelat tak berwarna dan tak berbau. Aku patah hati saat dia berterus terang bahwa dia telah terikat cinta dengan teman kuliahku, yang kurasa tak lebih baik dariku. Hariku mulai menjadi kelabu. Patah hati rasanya sepeti menelan pil pahit tanpa air setiap hari. Menyesakkan tenggorokan, membuat mual. Apapun yang dijamah setiap hari adalah keliru. Semuanya jadi palsu. Dan bayangan dirinya bermunculan satu-satu di sekelilingku.
Sebulan sudah aku seperti terkena Cotard’s Syndrom, aku sekarat dan tak ingin hidup lagi. Kuliahku berantakan, tak ada sedikitpun ilmu tentang elektron, ampere, sirkuit listrik yang masuk ke otak. Yang ada hanya namanya, cintanya, wajahnya, dan kenangan bersamanya. Aku benar-benar terserang kleptomania, otakku sudah kelainan.
Tapi lebih kelainan lagi ketika kisah patah hatiku ini kuceritakan pada August Sadewa. Lelaki itu berumur sekitar empat puluh tahun dan tinggal di sebelah kos-kosanku. Pada suatu ketika aku sering melihatnya duduk berlama-lama di depan rumah sambil melukis dan menikmati secangkir teh ditemani bunga-bunga bermekaran di halaman dan dialah yang merawatnya setiap sore. Dia akan pergi di pagi hari ketika aku berangkat kuliah dan kurasa dia pulang lebih cepat daripada aku. Aku sebenarnya tak pernah ingin mengenalnya atau mengetahuinya lebih jauh. Tapi ketika suatu petang aku sedang makan mie goreng di Burjo—tempat makan favorit bagi mahasiswa berduit pas-pasan di Jogja—Abang Burjonya bercerita tentang August Sadewa. Lelaki itu ternyata cukup populer untuk penduduk di sekitar kosanku.
Orang-orang memanggilnya August.
Atau lebih tepatnya August si lelaki yang sering patah hati.
# # #
Sehari setelah kudengar cerita dari Abang Burjo, aku memberanikan diri untuk datang ke rumah August. Untuk ukuran rumah seorang pria—dan lajang—rumah ini terlalu rapi dan wangi. Jika biasanya aku hanya melihat halaman rumah yang penuh dengan bunga, kini aku bisa merasakan keindahan dan nyamannya taman di halaman itu. Ester, mawar, kamboja berwarna-warni seolah-olah menggambarkan suasana hati pemilik rumah yang selalu ceria.
Apakah ini untuk menutupi hatinya yang selalu mendung karena sakit hati? Awalnya aku kurang yakin dengan cerita Abang Burjo yang mengatakan bahwa August adalah lelaki yang sering patah hati sejak dia berusia muda. Puncaknya adalah dia bercerai dengan seorang karyawan bank di kota ini. Tak ada yang tahu penyebabnya. Tapi menurut keyakinan Abang Burjo, dia dikhianati.
Pengkhianatan memang selalu menyakitkan. Dan sampai kapanpun, membagi hati akan selalu salah. Adakah yang lebih sakit dari pengkhianatan?
August memang bukan asli penduduk sini. Dia pindah ke rumahnya sekarang dua tahun lalu, sejak rumah tangganya mulai seperti semak rerumputan. Kering dan berantakan. Sebelumnya, dia tinggal bersama si istri di kota ini juga. Semua orang tahu kisah August karena sehari setelah dia bercerai, dia mulai datang ke burjo depan rumah dan bercerita. Seharian dia di sana memesan kopi dan merokok berbungkus-bungkus tanpa henti. Dia bercerita kepada siapa saja yang datang, sampai Abang Burjo hafal detail cerita August. Dia benar-benar sekarat karena cinta dan seperti tak ada tujuan hidup.
Lalu suatu ketika dia tak pernah datang lagi ke Burjo. Dia lebih sering terlihat di depan rumah untuk melukis dan merawat tanamannnya. Dan dia tampak lebih segar. Orang-orang mulai tak mendengar ceritanya lagi. Tapi mereka masih hafal, bahwa August adalah lelaki yang sering patah hati.
Sore itu aku memang berhasil menemuinya. Belum pernah aku memandang dia dari dekat. Dia kembaran Tom Hansen di (500) Days of Summer. Mungkin rasa depresinya pun juga sama ketika Tom Hansen ditinggal Summer.
Ah, sejak patah hati aku jadi lebih sering melihat film-film romantis semacam (500) Days of Summer, The Fault in Our Stars, A Walk to Remember, ataupun If I Stay. Belum ada dalam kamusku seorang mahasiswa Teknik Elektro lebih sering melihat (500) days of Summer daripada The Legend of Hercules. Ya, kecuali seperti sekarang, lagi patah hati. Dan Tom Hansen adalah gambaran sempurna untuk August.
Dia hanya bertanya apa keperluanku, aku menjawab aku butuh bercerita. Lalu aku berkata bahwa kata orang-orang dia adalah lelaki yang sering patah hati dan aku sedang mengalaminya juga. Aku butuh orang untuk memberi saran karena aku sekarang benar-benar sedang mengalami sindrom Cotard’s yang mengenaskan. Antara hidup di alam nyata dan baka.
“Apakah kamu sudah sinting meminta saran dari lelaki yang sering patah hati sepanjang hidupnya?” ujarnya, lalu kudengar dia membenturkan daun pintu cukup keras.
# # #
August tetap menjalani hidupnya seperti biasa, seperti saat dia belum diganggu oleh anak laki-laki yang ngekos di samping rumahnya. Dia melukis di depan rumah. Dia merawat tanaman. Dia naik sepeda setiap pagi. Dan dia mengundang anak-anak yatim piatu ke rumahnya di akhir pekan. Akhir pekan rumah August disihir menjadi arena bermain untuk para anak yang tak lagi memiliki ayah bunda. Mereka bermain, kejar-kejaran, bernyanyi bersama, lalu August dan para pengasuh Panti Asuhan Selalu Bahagia akan mendongeng cerita- cerita lucu di akhir kegiatan. Aku sering memperhatikan mereka dari atas balkon di samping kamar kosanku di lantai dua.
Kami pernah berpapasan beberapa hari setelah kejadian sore itu. Dia tak memandangku seolah aku tak pernah berusan dengan dia. Dan kami memang tak pernah berurusan. Tapi bukankah aku pernah bertamu di rumahnya dan dia mengusirku? Mungkin dia memang tipe orang yang tak ingin diganggu oleh orang lain, dia ingin melakukan apapun yang ia suka, dan tak pernah ada yang bisa mencegahnya.
Dan itu karena dia sudah terlalu sering patah hati?
Baik, aku memakluminya. Maka, aku pun kembali larut dalam masa berkabung patah hati. Mulai mendengarkan lagi lagu-lagu dan melihat (lagi) film-film galau dan romantis sepanjang hari. Otakku mulai berkabut dan aku benar-benar kehilangan arah. Hidupku tak pernah seberantakan ini. Belum lagi jika suatu hari aku bertemu dengan mantan di kampus dan kulihat dia masih bisa tertawa terbahak dan seolah hidupnya tidak hancur. Aku kembali ke rumah dan sempat terlintas ingin bunuh diri.
Aku pun mulai linglung dan kembali merokok banyak di Burjo depan kosan. Tak pernah mandi untuk dua sampai tiga hari. Dan aku merasa tak bernyawa.
“Kamu seperti August saat awal-awal dulu dia bercerai dengan istrinya,” ucap Abang Burjo kepadaku.
Aku menyulut rokok yang kesepuluh, kuhisap, dan kuhembuskan asapnya panjang. “Semua orang yang patah hati akan merasakan hal yang aku rasakan sekarang. Kacau, sekarat, dan ingin mati.”
“Apakah kamu tak berbicara saja dengan August? Dia sekarang bisa lebih baik dari yang kukenal awal dulu.”
“Sudah pernah kucoba, tapi aku diusirnya.”
“Sungguh? Bukankah dia adalah orang yang baik. Sepertinya dia tak akan mengusirmu begitu saja, kecuali kamu melakukan hal yang kacau. Merusak tanamannya, misal.”
“Mungkin waktu aku diusir, harusnya kurusak saja tanaman-tanamannya.”
“Kamu benar-benar kacau. Apakah orang yang patah hati akan seperti ini? Dulu August juga seperti ini. Kacau. Lihat sekarang dirimu.”
Aku menyeringai kecil. Aku memang sedang kacau, Brader.
Ponselku berdering sejak tadi, namun tak pernah kuangkat. Sudah ada beberapa SMS yang masuk juga, salah satunya dari eyang di Jakarta. Huft, pasti eyang dari tadi menelponku seperti biasa. Aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun hari ini dan untuk beberapa hari ke depan. Kemarin-kemarin aku hanya menelepon eyang sesekali karena memang sedang tak ingin. Pasti beliau mengkhawatirkan keadaanku seperti biasa.
Kubuka SMS-SMS yang masuk. Dari Rian, tetangga kos, yang ngajak futsal. Jelas akan kutolak. Dari Rey, teman kampus, yang ngajak ngerjain tugas kelompok di kampus nanti malam. Ini juga akan kutolak. Dari operator yang memberitahukan bahwa paket internetku habis nanti malam. Ini pasti gara-gara sering kupakai untuk ngecek facebook dia. Shit. Dan terakhir dari eyang.
Seminggu lagi ulang tahun kan? Mau kado apa dari eyang.Pulang ya, ada pesan dari Mamah. Udah 18 tahun, kan? Eyang.
Kututup layar ponsel. Aku sedang tak ingin merisaukan apapun.
Malam setelah aku meminum kopi bergelas-gelas hingga membuat perutku kram dan menghisap rokok berbatang-batang, aku kembali ke rumah sempoyongan. Aku meracau seadanya. Kudendangkan semua lagu patah hati yang pernah ada, tanpa nada.
Kurasakan kepalaku sangat berat dan seperti diganduli berton-ton pasir. Aku hampir saja bisa membuka pintu gerbang kosan jikalau tidak kurasakan perutku melilit dan kepalaku berputar. Kurasakan tubuhku luruh sepenuhnya ke bumi. Aku limbung. Dan pandanganku menghitam.
# # #
August berkata bahwa aku terdampar di depan rumah dengan wajah lusuh dan pucat. Maka dia membawaku ke dalam rumahnya. Dan aku pun tertidur hingga pagi. Ketika aku bangun dan kurasakan kepalaku masih nyutnyutan, aku sudah berada di sofa ruang tamu berselimut tebal. August duduk di dekatku sambil menonton TV.
Kulihat dia tak lagi menyeramkan seperti saat kutemui dulu. Jambangnya tampak dicukur dan dia bersisir rapi. Mukanya tampak bersih tak berminyak.
Setelah aku mulai sadar bahwa aku memang benar-benar ada di rumahnya, aku duduk dengan sempoyongan karena masih tersisa sedikit rasa pening di kepala.
Campuran kopi dan rokok harusnya menyenangkan, namun jika berlebihan ternyata bisa mengakibatkan pecah kepala. Seperti cinta, jika berlebihan ternyata berefek mengerikan. Pasti pernah mendengar orang yang membunuh pacarnya karena berselingkuh. Mungkin itu efek dari cinta yang berlebihan. Shit, patah hati membuatku jadi sok puitis seperti ini.
“Berapa umurmu sekarang?” August bertanya padaku di sela obrolannya tentang kejadian tadi malam.
“Hampir delapan belas.”
“Dan kamu seolah-olah sudah hancur, hidupmu sudah berantakan, hanya karena…patah hati seperti sekarang?” Dia mendengus. “Beresi wajahmu, kembalilah ke kosan. Nanti jika sudah baik, kamu ke sini lagi atau hubungi saya via telepon.” Dia menulis nomer ponselnya di secarik kertas dan menyodorkannya padaku.
“Untuk apa saya ke sini lagi?” tanyaku heran.
“Bukankah kamu sendiri yang bilang kemarin, kamu ingin mendapatkan saran dari orang yang sudah sering patah hati?” Dia menyeringai kecil, lalu tersenyum.
Aku mengangguk.
# # #
August mengajakku ke pantai Parangtritis. Hari sudah hampir sore ketika kami tiba di sana. Sesampainya di sana, dia menyuruhku untuk berdiri di bibir pantai. Ombak mulai menyentuh kakiku.
“Hiruplah udara sebanyak-banyaknya, hembuskan perlahan, lalu berteriaklah sekencangnya.”
Sepanjang perjalanan ke tempat ini, August banyak bercerita tentang hidupnya yang penuh dengan penyesalan, rasa patah hati, dan jatuh cinta. Inilah kisah paling memilukan yang pernah kudengar dan cerita patah hatiku belum menyentuh seujung kukunya pun.
August bercerita bahwa dia dulu adalah cowok brengsek yang sering sekali mempermainkan hati wanita. Sebelum berumur dua puluh dua tahun, dia sudah sering bergonta-ganti pasangan. Selama menjalin hubungan-hubungan itu, dia tak pernah menggunakan perasaannya. Seperti memainkan permen karet di dalam mulutnya, manis di awal kemudian akan dibuang ketika rasanya sudah mulai hambar dan mulut kaku. Cewek-cewek yang dipilih August pun adalah tipe cewek yang tak akan sakit hati jika ditinggal, atau hanya menangis tiga hari ketika August selingkuh.
“Lalu aku mengenal dia…dan aku benar-benar jatuh cinta kepadanya.”
Bagi August, ketika umurnya dua puluh dua tahun adalah saat dirinya benar-benar merasakan cinta yang sesungguhnya. August mengenal wanita pujaannya saat keduanya sama-sama mencari pekerjaan. Wanita itu bukanlah seperti gadis-gadis lain yang pernah ia pacari, begitu katanya.
“Dia permata, dia terlalu baik. Dan dia adalah wanita yang sangat cocok untuk dijadikan pendamping hidup sampai mati…dan aku mengkhianatinya.”
Aku menelan ludah. Lelaki di sampingku ini jadi pernah menyakiti seseorang juga?
August bukan hanya menyakiti seseorang, tapi dia juga mencampakkan dan mengkhianatinya. Saat ia sudah memiliki wanita itu dan hampir menikah, August justru kembali menjalin cerita dengan perempuan lain. Dan wanita pujaannya hamil karenanya.
“Apakah dia memaafkan kamu?” tanyaku.
August menggeleng. “Sampai dia mati, dia tak pernah memaafkan aku. Atau entahlah, tapi sepertinya dia memaafkanku. Tapi kami tak bisa bersatu lagi karena keluarganya melarang.”
“Dia…meninggal?”
“Ya, setelah melahirkan bayi kami dia terkena kanker rahim. Tak lama setelah itu dia meninggal.”
August melanjutkan ceritanya dengan hal yang lebih memilukan. Hidupnya benar-benar hancur saat itu dan dia kehilangan gairah untuk mencapai mimpi-mimpinya. Lima tahun dia sendiri dan memutuskan untuk tidak memiliki siapa-siapa. Dia pergi ke Jogja dan mempelajari tentang pemograman di kota ini dan bekerja sebagai web developer di salah satu perusahaan IT. Tapi bayangan wanita pujaannya terus menerus mengusik. Lalu suatu ketika dia memutuskan untuk melupakan rasa bersalahnya dan memulai kehidupan baru.
“Aku mulai mencoba mencintai seseorang lagi…perlahan….dan selalu gagal. Bukan aku yang menyakiti mereka. Tapi mereka yang satu persatu menyakiti aku. Aku benar-benar seperti seorang lelaki yang terbuang dan tak dihargai.”
“Karma?”
“Mungkin lebih enak jika dibilang hukuman dari Tuhan.”
“Bukankah kamu kemudian menikah? Aku mendengar ceritamu dari Abang Burjo.”
“Ha ha ha, awal aku bercerai aku memang bercerita kepada setiap orang tentang kisah cintaku, tentang lelaki yang terlalu sering patah hati. Aku memang mendapatkan wanita yang benar-benar aku cintai akhirnya. Kami menikah. Dan akupun bahagia. Lalu suatu ketika aku menemukan SMS dari laki-laki lain di ponselnya dengan nada menggoda. Dan itu berulang kali. Lalu kuputuskan untuk berpisah dengannya karena aku tahu Tuhan belum berhenti menghukumku.”
August menghentikan ceritanya ketika kami tiba di pantai dan dia menyuruhku untuk berteriak sekencang mungkin. Aku pun sudah menceritakan kisah cintaku padanya. Tentang wanita yang memutuskan secara tiba-tiba lalu justru berpacaran dengan teman kampusku.
“Otak kita memiliki banyak hormon yang diproduksi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnyua, oksitosin dan dopamin yang merupakan hormon untuk pembangkit rasa bahagia. Lalu ketika kita sedang mengalami setres, depresi, ataupun seperti kamu sekarang—patah hati—otak akan mengirimkan kortisol dan ephinephrine yang akan menimbulkan rasa perlawanan atau melarikan diri. Reaksi ini akan bekerja secara maksimal di dalam tubuh dan membuat kita merasa tertekan dan kita berusaha untuk menghindarinya. Saat kita sakit hati, kita tak bisa menghindar dari rasa tertekan ini dan akhirnya si kortisol itu akan melarikan diri ke dada. Itulah mengapa saat sakit hati kita akan merasa sesak,” dia menjelaskan hal ini panjang lebar.
“Dan untuk menghilangkannya, kita cukup berteriak kencang seperti ini.” August menyontohkan. Dia berteriak di sampingku dan aku mengikutinya. “Dulu aku sering melakukannya di sini, Anak Muda.”
Nafasku tersengal-sengal dan perlahan memang rasa sesak di dadaku menghilang.
“Tak ada gunanya larut dalam sakit hati. Itu prinsipku akhirnya. Dan aku bisa berbuat baik lebih banyak jika aku bahagia.” Dia tersenyum kepadaku. Entah apa makna dari perkataannya itu, aku belum bisa mengartikannya. Tapi setelah pagi harinya dia memintaku untuk menemaninya ke suatu tempat, aku baru sadar apa yang telah dia perbuat. Kami berdua pergi ke Panti Asuhan Selalu Bahagia.
# # #
August menjadi donatur tetap di Panti Asuhan Selalu Bahagia. Dan seperti yang biasa aku saksikan di rumahnya, August mengundang para penghuni Panti Asuhan Selalu Bahagia ke rumahnya di akhir pekan. Aku melihat rona gembira di wajah August ketika ia bisa bercengkera dan mendongeng hal-hal luar biasa kepada anak-anak panti. Mereka tampak menyukai August, begitupun August yang menyukai mereka.
Aku berdiri mematung tak jauh dari lingkaran mereka. Lalu August menarikku ke dalam lingkaran itu.
“Apakah kalian mengenal kakak ganteng ini?”
“Tidaaakkkkkkkkk….,” jawab mereka serempak.
“Kakak ganteng ini mahasiswa Teknik Elektro lho. Kalian pengen kuliah seperti kakak ini tidak?”
“Mauuuuuuuuuuu…”
“Makanya ayo belajar. Nah, siang ini Kak Varlian khusus datang ke sini untuk mengajari kalian belajar. Oke?”
August melirikku dan mengerlingkan mata. Kini aku tahu mengapa aku harus ke sini. Ini mungkin semacam obat untuk si kortisol yang menyebabkan aku patah hati.
August tak pernah tertebak. Setelah dia menyeretku dengan terpaksa—awalnya—ke Selalu Bahagia sore kemarin, pagi ini dia kembali menjebakku di dunianya. Di dunia yang menurutku hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Pagi itu, kami tak lagi mengendarai mobilnya ke pantai atau ke Selalu Bahagia. Tapi kami cukup berjalan kaki saja. Seperti hari-hari sebelumnya, dia kembali bercerita tentang kehidupannya, tentang penyesalannya, dan alasannya mengapa dia menjadi donatur di Selalu Bahagia.
“Aku bahkan belum sempat melihat anakku. Keluarganya lantas membumihanguskannya dari hadapanku. Mereka tak mengijinkanku untuk menengok. Pilihan wanita pujaanku untuk tetap mempertahankan bayi kami walaupun kami tak menikah terus menerus menyiksaku. Bahkan sampai sekarang.”
“Lalu mengapa kita ke sini? Anak itu ada di sini?”
Aku menatap plang warna putih yang diberi tulisan warna-warni di hadapanku: TK CERIA 23.
“Bukan, dia bukan di sini. Yang di sini adalah anakku dari mantan istriku. Dia sekolah di sini. Mantan istriku juga mengisolasi anaknya dari sentuhan bapaknya ini.”
August membuka kaca mobilnya.
“Itu dia jagoanku yang sedang berlari.” August menunjuk seorang bocah 5 tahun yang berlari menuju gerbang pintu masuk TK Ceria 23. Tak jauh dari gerbang itu, seorang wanita cantik berdiri menatap bocah itu. Wanita itu tampak melambaikan tangan, lalu setelah memastikan anaknya sudah masuk ke dalam kelas, dia balik badan dan kembali ke mobilnya.
“Mantan istri?” tanyaku.
August mengangguk.
# # #
August mengajarkan aku bahwa rasa bersalah yang berlarut-larut hanya akan menghancurkan hidupku perlahan. Dan aku memang merasakan hidupku memang mulai menjadi keping-keping, remuk redam. Untung aku segera bertemu dengan August, lelaki yang sering patah hati.
Siang itu, setelah kami pergi ke TK Cerita 23, aku dan dia kembali mengobrol di Cafe Jendelo di Gejayan. Seminggu sudah aku mengenalnya dan seminggu pula aku mulai mendapakan suntikan semangat lagi. Satu hal yang pasti, mungkin aku harus kembali berkutat dengan kabel-kabel dan rangkaian listrik di laboratorium. Sudah hampir dua minggu aku nggak kuliah.
“Jangan sampai patah hatimu menghancurkan hidupmu,” nasehatnya kepadaku.
“Kenapa kamu melakukan ini semua? Maksudku, panti asuhan, berdiri berjam-jam di TK Ceria?”
“Aku tak bisa menjadi yang terbaik untuk anakku. Aku hanya ingin selalu dekat dengan dia untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Kalo panti asuhan itu, aku hanya ingin berbagi kepada mereka yang tak punya orang tua. Aku tahu, anakku pasti mengalami hal yang sama. Kehilangan seorang ayah.”
Rasa penyesalan itulah yang membuat August bisa setegar ini sekarang. Pastilah di awalnya dulu dia menjadi zombie sepanjang hari. Sebelum dia menemukan kesadaran bahwa dia memang harus berbuat lebih untuk hidupnya, memperbaiki hidupnya.
Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil August pikiranku mengembara ke beberapa hari belakang. Membayangkan hidupku yang awut-awutan tidak karuan hanya karena sakit hati. August benar bahwa hidupku tak boleh hancur hanya karena rasa sakitku. Hujan di luar menandai tekadku yang baru.
Kucek ponselku yang beberapa hari ini kuabaikan. Tugas-tugas kuliah yang terbengkelai, kehidupan sosialku yang tak sehat, dan yang paling penting adalah SMS dari eyang yang belum kubalas. Maka perlahan kuketik satu-satu balasan untuk semua SMS-ku.
Hey, Yan, apa ada tugas elektrodinamika buat Senin?
Terakhir kuketik SMS untuk eyang.
Aku akan pulang eyang pas ultah nanti. Maaf baru balas, lagi banyak tugas kuliah. Sent.
Hujan menyambutku dan August di pelataran rumahnya. August memintaku untuk masuk ke rumah dulu karena hujan terlalu lebat dan dia akan meminjamiku payung. Maka kuturuti saja permintaannya. Toh, nggak lucu juga hujan-hujanan malam-malam gini. August juga meminjamiku baju karena bajuku sedikit basah saat masuk ke dalam mobil tadi.
“Ambil saja di kamar, pilih sesuai selera,” ujarnya dari dapur. Dia sedang membuatkan kopi panas untukku.
Sungkan sebenarnya aku masuk kamar orang yang baru kukenal beberapa hari. Walaupun sudah mendapat ijin dari August, tapi aku masih beranggapan ini terlalu privasi. Tapi sepertinya August mempercayaiku. Tak perlu tak enak karena sudah diijinkan. Toh, aku hanya tinggal masuk ambil kaos di almari dan keluar secepatnya.
Kamar itu seperti tempat-tempat lain di tempat ini, bersih dan wangi. Mungkin salah satu hal positif yang dilakukan orang yang terkena sindrom patah hati adalah bersih-bersih rumah. Lihat saja rumah dan kamar August. Tak ada yang tahu kalo pemiliknya ternyata lelaki empat puluh tahunan itu adalah lajang.
Aku masuk ke kamar August perlahan. Kulihat ke sekeliling. Barang-barang rapi di tempatnya. Yang menarik perhatianku adalah sebuah lukisan besar di dinding. Lukisan seorang wanita dengan rambut sebahu yang tampak tersenyum. Aku mendekat ke lukisan itu.
Pintu kamar terbuka dan aku menoleh. Kudapati August ada di sana.
“Aku lupa, seharusnya memang kamu tak kubiarkan masuk ke kamar ini.”
# # #
Mungkin patah hati bukan hanya urusan hati dengan seorang wanita. Mungkin patah hati bisa menjadi urusan semua orang. Dasarnya adalah kecewa, kecewa karena cintamu tak bergayung sambut. Kecewa karena apa yang kamu inginkan tak menjadi kenyataan. Kecewa karena merasa dikhianati. Kecewa karena merasa dibohongi. Itu semua pangkal-pangkal patah hati.
Teori tentang hormon kortisol dan ephinephrine yang tak bisa lari dari tubuh dan menimbulkan rasa sesak di dada karena rasa kecewa, sakit hati, amarah kini menghampiriku. Dia menyusup perlahan ke relung dada dan bersemayam di sana.
Aku kembali limbung oleh perasaan patah hati, bukan lagi oleh mantan kekasihku yang mendadak jadian dengan teman kampus. Semua teori August yang ia paparkan seminggu ini seakan seperti alkohol yang kutuangkan di atas telapak tangan. Langsung lenyap, menimbulkan efek dingin lalu sedikit panas. Panas, itulah yang kurasakan di dalam dadaku kini. Panas yang mendidihkan kortisol di dada.
Dan ini semua karena August. Dia tahu tentang semua yang terjadi di hidupku. Tentang ibuku. Tentang ayahku.
Aku sendiri tak pernah mengenal siapa orang tuaku. Hanya dongeng eyang yang selalu kudengar tentang mereka berdua. Hanya eyang yang selalu meyakinkanku bahwa aku memiliki orang tua yang hebat. Selama hampir delapan belas tahun ini, aku mempercayai semua cerita eyang. Karena aku tak pernah bertemu dengan ibu, karena aku tak pernah bertemu dengan ayah.
Dari kecil aku merindukan sosok mereka di sampingku. Sosok yang akan menggantikan popokku karena aku ngompol di malam hari, sosok yang mengantarkanku ke gerbang pintu sekolah, sosok yang memarahiku karena aku mencoba-coba rokok dan main tak ada aturan. Tak ada sosok itu. Yang ada hanyalah eyang yang selalu di sampingku.
Justru August yang mengetahui semuanya. Dia yang tinggal di samping kos-kosan. Yang awalnya tak sedikitpun aku ingin tahu dan peduli. Aku tak pernah mengenalnya. Aku yang tak pernah berhubungan dengannya. Dan seminggu yang lalu gerbang pertemuan itu menyatukan aku dengan dia. Seminggu yang lalu aku datang ke rumahnya dengan segudang cerita tentang patah hatiku dan dia dengan leluasa memberikan saran-saran terbaiknya. Dialah lelaki yang sering patah hati yang kemudian menjadi seorang mentor bagiku untuk kembali menjalani hidup sebagai manusia normal.
Dan itu hampir saja berhasil jikalau aku tak melihat lukisan itu di kamar August.
Tak ada yang spesial dengan lukisan itu. Ia dilukis oleh tangan August karena di pojok kanan bawah ada namanya. Lukisan itu digores dengan cat minyak yang penuh perasaan, dihaluskan oleh kuas dengan kenangan. Aku yakin August tak main-main membuatnya dan mungkin itu karya masterpiece-nya selama ia mengalami depresi patah hati.
Aku hampir-hampir tak mengenali sosok itu. Lalu ingatanku membayang ke semua memori di album foto di rumah.
Perempuan yang dilukis oleh August itu adalah wanita yang telah ia campakkan dan membuatnya menerima karma cinta bertubi-tubi selama ia hidup.
Dan wanita dalam lukisan itu adalah ibuku.
# # #
Rangkaian listrik yang kubuat ruwet dan gagal di Praktikum Rangkaian Listrik 1. Akibatnya aku mendapatkan nilai C- dan harus mengulang praktikum minggu depan. Ruwetnya rangkaian itu selaras dengan ruwetnya kehidupanku beberapa minggu ini. Mantan pacar semakin memperkeruh keadaan dengan bermesraan sepanjang praktikum dan aku muak dengan itu.
Ketika aku menyusun resistor, kapasitor, induktor, dan tor-tor yang lain, pikiranku tak pernah bisa terfokus. Kabel menjadi melilit-lilit, lampu tak ada yang nyala, robot nggak jalan, dan yang lebih parah aku tiba-tiba lupa fungsi ON dan OFF. Akibatnya robot yang kubikin mengeluarkan asap dan api. Bukan karena aku menciptakan ULTRAMAN yang mengeluarkan jurus ASAP PENEMBUS MAUT, bukan. Tapi karena memang rangkaian di dalam robot itu yang kacau.
Aku lebih terfokus pada setiap detail lukisan di kamar August. Bagaimana bisa perempuan di dalam lukisan itu adalah ibuku. Aku belum pernah benar-benar melihat ibuku, kecuali ketika aku masih bayi. Ibu hanya bisa kukenali lewat album-album foto di rumah eyang. Ibu memang berparas ayu, berambut panjang, dengan bibir merah merekah alami. Tapi aku memang belum pernah berbicara dan bercerita langsung padanya.
Sedangkan ayah? Kata eyang, ayah meninggal karena kecelakaan. Walaupun sampai detik ini, eyang tak pernah menunjukkan foto dan makam beliau. Tapi aku percaya, eyang punya alasan tersendiri merahasiakan ini semua. Akupun enggan untuk bertanya. Dan hal ini akan terjawab saat aku pulang besok.
Jadi August adalah lelaki yang mencampakkan ibu dan aku? Jadi dia adalah…ayahku? Selama ini dia berbohong padaku, seminggu ini dia tahu kalau aku adalah anaknya?
Sore itu, disambut dengan hujan dan petir, aku memaki August keras-keras. Setelah seminggu aku menghormatinya dengan mendengar semua saran dan ceritanya, sore itu amarahku meledak. Ada semacam dorongan dalam diri untuk mengeluarkan semua kata-kata paling buruk di dunia ini. Aku memberontak sebagai seorang lelaki dan dia berusaha untuk menenangkanku. Tapi terlambat, aku tak gampang untuk dibujuk. Maka, kudorong dia sekuat tenaga, kubanting pintu kamarnya, kuterobos hujan lebat, dan aku masuk kamar dengan perasaan berkecamuk.
Aku marah. Aku marah pada diriku sendiri, pada keadaan, dan kepada August. Cermin di kamar menjadi pelampiasan amarahku sore itu.
August mencoba mendekat. Dia menungguku di depan kosan, mencoba mengirim pesan, menelepon, datang ke kampus. Aku seperti seorang pecinta sesama jenis yang dikejar om-om gila berondong. Ini memuakkan. Dan aku membentengi diri dengan atmosfer tebal agar dia tidak berani ada di sekelilingku.
# # #
Aku keluar kamar kos dengan perasaan gamang. Aku mempercepat kepulanganku ke Jakarta satu hari. Sepertinya aku harus segera bertemu dengan eyang. Dan penjelasan ini semua tak mungkin bisa hanya via telepon. August masih berusaha menghubungiku, tapi aku masih tak ingin bicara dengannya. Ini terlalu tak masuk akal bagiku.
Kupakai New Balance dengan tergesa. Masih ada waktu sejam untuk datang ke Stasiun Tugu. Kereta berangkat pukul delapan malam.
“Hei, Lian. Kamu mau balik ke Jakarta?” Rian berdiri di pintu kamarnya yang ada di depan kamarku.
“Ya, ada urusan. Nanti tugas aku nanya kamu, Yan.”
“No problem.” Rian mendekat ke arahku. “Kulihat belakangan ini kamu seperti tidak bersemangat.” Dia menatapku. “Ada yang bisa kubantu?”
Jika seorang lelaki seperti Rian—yang biasanya lebih sering main games online daripada pergi nongkrong bareng teman—bisa mengetahui betapa berantakannya hidupku akhir-akhir ini, berarti aku memang sudah diambang batas waras.
“Tak ada. Maksudku, aku baik-baik saja, Kawan.” Aku mencoba tersenyum. “Kamu tahu aku, kan?” aku tertawa kecil.
“Ya, aku tahu. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk cerita.”
Aku mengangguk. “Aku cabut dulu.”
“Tunggu.” Rian menyodorkan amplop putih kepadaku. “Ini bukan surat cinta dariku.” Dia tertawa mengejek. “Ada orang yang menitipkannya padaku.” Aku mengernyitkan kening. “August,” ujarnya pendek.
Kupandangi amplop itu, lalu tangan kananku meraihnya. “Thanks,”
# # #
Tengah malam, eyang membangunkanku dengan kue kecil berhias angka satu dan delapan. Aku tersenyum dan mencium penuh sayang kedua pipi orang yang selalu merawat dan menyemangatiku sejak kecil.
“Thanks, Eyang. I’ll always love you,” ucapku pelan dengan rasa haru.
“Ini kado dari eyang.” Eyang memberikan sebuah bungkusan kecil. “Kamu harus membukanya sendiri.”
Sekali lagi kucium sayang pipi eyang. “You’re still the best, Eyang. Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan hidupku jika nggak ada Eyang.”
Eyang mengelus pipiku. “Kamu sudah dewasa, Lian.”
“Dan sudah waktunya Lian tahu apa yang sebenarnya, Eyang.”
Eyang sepertinya mengetahui arah pembicaraanku. Dia mengangguk-angguk kecil. Dia berdiri dan menyerahkan kotak yang sejak tadi dia bawa.
“Mungkin bukan eyang yang akan menjelaskan ini semua. Ibumu sendiri yang akan menjelaskannya.” Eyang tampak sedang menahan rasa haru. “Bukalah!” Eyang menyeka air matanya yang tiba-tiba keluar. “Ini ditulis oleh ibumu sehari sebelum dia diangkat kanker rahimnya oleh Dokter, namun gagal.”
# # #
Eyang membiarkanku sendiri membaca surat dari ibu di dalam kamar. Surat itu terdiri dari 10 halaman kertas folio bergaris yang ditulis tangan oleh ibu. Aku benar-benar menyiapkan mental untuk membaca kata demi kata di setiap halamannya.
Dua halaman pertama, ibu lebih banyak bercerita tentang kecintaannya kepadaku, rasa penyesalannya karena tak bisa mendampingiku hingga dewasa, dan hal-hal kecil lain seperti rasa senangnya dia saat mengandung diriku. Meski tanpa suami. Eyang mendukung penuh kehamilan ibu walaupun dengan satu syarat, dia tak boleh menikah dengan ayah—maksudku August.
Lima halaman berikutnya, ibu bercerita banyak tentang August. Tentang pertemuan mereka berdua, tentang reputasi August sebagai seorang playboy, dan tentang rasa cintanya ibu dengan August.
Dia orang baik, Varlian. Jika tidak, ibu tak akan jatuh cinta kepadanya. Keputusan keluarga besar untuk menentang August menjadi suami ibu karena dia ketahuan sedang menjalin hubungan dengan mantannya. Jujur, ibu sakit hati. Tapi ibu yakin, dia tetap memilih ibu. Suatu malam hujan lebat dan dia datang ke rumah untuk meminta maaf. Ibu hanya bisa melihatnya dari balkon atas kamar karena eyang dan keluarga tak memperbolehkan dia masuk. Hati ibu benar-benar hancur. Tapi dalam hati kecil ibu, ibu masih mencintai dia walaupun dia sudah berkhianat. Untuk apa ibu menyerahkan kesucian ibu jika ibu tak mencintainya. Karena ibu yakin, dia adalah yang Tuhan kirimkan untuk ibu.
Ibu mencintai August sepenuh hati setelah lelaki itu mengkhianatinya? Sebelum aku membaca kelanjutan surat ibu, aku sempat marah. Tapi halaman berikutnya, mempertegas jawaban ibu.
Ibu terkena kanker rahim pasca melahirkan kamu. Untung kamu selamat, Lian. Tapi ibu tak kuat lagi menahan penyakit ini hingga kamu berumur 3 tahun. Kondisi ibu semakin lemah. Tapi di luar itu, August masih sering menghubungi ibu dan dia selalu ada di samping ibu meskipun secara diam-diam tanpa sepengetahuan eyang dan keluarga. Ini mempertegas bahwa rasa penyesalannya begitu dalam dan ia ingin kembali kepada ibu.
Hingga suatu ketika, kamu tiba-tiba masuk ke rumah sakit.
Tunggu, aku pernah masuk rumah sakit waktu kecil? Mungkin, hanya masalah sepele seperti demam atau….
Sejak lahir ternyata kamu hanya punya satu ginjal yang berfungsi, ginjalmu yang satu mengalami kelainan. Untung saja, dokter segera mengetahuinya setelah kami membawamu ke rumah sakit karena kamu demam tinggi dan sering muntah. Kondisimu semakin lemah. Kukira itu hanya demam biasa, tapi ternyata tidak. Fungsi ginjalmu semakin menurun dan memerlukan penanganan yang serius, salah satunya adalah transplantasi.
Aku menelan ludah. Ini tidak mungkin.
Jika suatu saat kamu bertemu dengan August, ibu mohon kamu jangan membencinya. Dia memang pernah mengkhianati ibu. Namun, rasa penyesalannya telah mengembalikan kepercayaan ibu sepenuhnya. Meskipun sampai sekarang, mungkin, eyang tidak akan menyetujui hubungan kami.
Jangan pernah membenci dia, ayahmu. Meskipun sampai ibu pergi, kami berdua belum ada ikatan pernikahan.
Ibu tahu dia juga menderita. Jangan bebani hidupnya dengan kebencianmu. Jika kamu bertemu dengannya, sampaikan salam ibu kepadanya. Ibu akan selalu mencintainya. Dan ucapkan terima kasih, karena dia telah memberikan satu ginjalnya untukmu.
# # #
Dear Varlian,
Saya tahu, setelah tahu bahwa saya yang mengkhianati ibumu, kamu akan membenci saya sepenuhnya. Maafkan ayahmu ini, Lian. Ayah telah meninggalkanmu. Ini sebuah pilihan. Satu-satunya cara agar bisa dekat dengan kamu adalah tinggal tak jauh dari kamu. Di Jakarta sejak kamu kecil, saya sudah tinggal di dekat rumahmu. Di Jogja saya tinggal di sebelah kos-kosan kamu. Memperhatikan kamu tertawa, menyanyi di balkon, berteriak, kadang marah, dan juga patah hati karena cewek.
Meskipun awalnya, ayah tak ingin mengenalkan diri ayah. Karena ayah tahu, suatu saat kamu tahu tentang saya, kamu akan marah.
Tapi ayah hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Maafkan ayah.
August,
2 Responses
Cinta tidak memandang jahatnya dia, sebab namanya akan selalu baik. Ceritanya benar-benar keren, semangat berkarya kak.
Hai, salam kenal. Teirma kasih ya sudah mampir.