Setiap kita punya kawan. Yang perjumpaannya tidak pernah ada yang tahu. Yang perpisahannya tidak pernah tahu. Kawan kecil yang kemudian hilang. Berganti dengan kawan-kawan baru. Kawan yang ditemui di setiap kita menjemput hari, menjemput mimpi.
Tapi, kita selalu punya kawan kelana, seorang kawan yang tak punya tujuan, karena bersahabat dengannya tanpa alasan. Kawan yang datang, hilang, lenyap, tapi masih selalu saling memberi kabar.
Bersamanya, mimpi selalu nyata. Kawan yang tak mempermasalahkan, yang salah dianggap benar, yang benar dianggap salah. Meski masih sering saling mengingatkan.
Kata orang, seorang kawan yang sudah lebih dari sepuluh tahun bersama, maka susah rasanya di pisahkan. Busuk-busuknya sudah tahu. Baiknya tak perlu diumbar-umbar. Ia yang datang susah senang, bukan karena ada tujuan.
Aku bertemu dengannya bahkan ketika kita sama-sama tak punya apa-apa. Saat kita membangun mimpi bersama. Kemudian dia pergi lama sekali, tak ada kabar, kemudian kembali datang. Seperti seorang pejuang yang kalah dari perang. Kita membangun koneksi kembali, mencari kembali arti kebersamaan dan persahabatan.
Saatku terpuruk, bukan lagi karena masalah materi, tapi juga cinta dan tetek bengek kehidupan lainnya. Ia tetap ada. Meski kita sama-sama tak ada.
Kemudian, kita sama-sama membangun mimpi-mimpi. Diskusi, debat, itu hal biasa. Toh, pada akhirnya kita tetap menjalani persahabatan ini bersama. Bersama kita mengendarai sepeda ‘mimpi kita’, saling dukung saling memberi semangat.
Dia pula yang tahu tentang semua kisahku padamu. Yang tak perlu kuceritakan, dia sudah menduga. Yang tak perlu kubertanya, dia akan ada saat aku dalam ketidakberdayaan kata.
Kita yang tak perlu ingat hari ulang tahun masing-masing. Yang perlu kita ingat bahwa kita membangun mimpi bersama.
Bukankah itu arti kawan yang sesungguhnya?
No responses yet