Kamu jelek, tapi aku tetap suka

Hai, namaku Mahesa. Mungkin dia namanya Matahari.

Aku melihatnya di antara puluhan novel remaja yang tertata apik di toko buku. Berdiri anggun, tingginya tak lebih dari daguku, dia sedang membaca salah satu novel best seller. Matanya awas, tanpa memperhatikan seorang petugas laki-laki yang sedang memperhatikannya sejak tadi. Petugas itu mondar-mandir di sampingnya, sesekali melirik, sepertinya dia kagum. Mungkin petugas itu berharap gadis itu menyadari kehadirannya. Namun tidak, dia tidak bergeming dengan kegiatannya. Kacamatanya yang besar bulat membingkai matanya yang besar, tetapi tetap memperlihatkan kecantikan di wajah.

Kulangkahkan kaki mendekat. Komik Conan masih kupegang erat-erat. Aku berhenti saat wanita itu jongkok, mengambil novel yang ia jatuhkan. Ia mengembalikan novel itu, lalu kembali berkutat dengan novel yang sejak tadi ia baca.

Mendadak aku berkeringat, panas, meskipun semburan AC dari atas kepalaku seharusnya mampu mendinginkan semuanya. Kaos hitam tipis masih saja tak melepaskanku dari panas yang menyerang mendadak. Aku menelan ludah. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku kemudian melangkah lagi, mendekati rak buku tempat dia membaca. Setelah sampai, aku mengambil satu novel remaja, entahlah aku tak terlalu mengenal penulisnya. Judulnya berbahasa Inggris, warna sampulnya hijau. Kubuka Bab pertama, tulisan pertama yang kubaca adalah ‘Kamu jelek, tapi aku tetap suka’. Aku kembali menelan ludah, meliriknya sekilas. Masih sama, dia membaca.

Kuberanikan diri untuk menoleh sekilas, sekilas saja. Pertama yang kuperhatikan adalah rambutnya yang hitam menjuntai hingga sebahu. Nampak lembut, meskipun hanya kuperhatikan dari jauh saja. Bibirnya tersapu warna merah muda, tipis. Pasti akan menarik saat memperhatikannya tersenyum.

Dia menoleh, memperhatikanku yang sedang memperhatikannya. Dia tersenyum. Aku menyenggol deretan buku di depanku, beberapa jatuh. Aku tergelagap, spontan memunguti buku itu. Ketika aku kembali berdiri, menoleh ke arahnya. Dia sudah kembali bersama bukunya.

Aku menelan ludah. Kuhitung satu-satu niatku. Aku bisa saja melangkah maju, tersenyum, kata Emak senyumku selalu manis, aku menjulurkan tanganku. Menyebut namaku, Yusuf, kemudian menanyakan namanya. Pasti namanya secantik wajahnya. Bisa saja Mutiara, atau Anjani, mungkin juga Sheila. Tidak dia pasti memiliki nama Matahari. Karena wajahnya bersinar. Menentramkan. Dari jauh tercium aroma wangi bayi yang lembut menentramkanku.

Tapi aku masih saja diam di tempat. Menimbang, menunggu. Aku mencoba mengganti buku yang kupegang dengan buku lain. Jantungku serasa ingin mencelos keluar, aku kembali menelan ludah. Tujuan utama ke toko buku ini adalah membeli beberapa komik, tapi sirna sudah.

Kudengar dia melangkah pergi dari tempatnya berdiri. Aku mendongak, dia kini tepat berseberangan dengan rak buku di depanku. Aku bisa melihat dengan sempurna wajahnya. Matanya yang sendu tertutup kacamata berframe kecokelatan.

Dia mendongak, melihatku. Melempar senyum tertahan. Isyarat apa sih itu? Aku masih terpaku di tempat, menimbang kemungkinan-kemungkinan apa yang akan kudapatkan.

Setengah jam kemudian, dia pergi. Aku masih memegang buku yang sama, tak sempat kubaca.

# # #

Hari Sabtu minggu berikutnya, aku kembali ke toko buku itu, ke rak yang sama. Tapi kali ini dia tak ada di sana. Sungguh rasanya seperti membeli durian, dihadang-hadang buahnya lembut tanpa biji, tapi ketika dibelah yang ditemukan hanya biji besar hampir busuk atau yang belum matang. Mengecewakan. Kutunggu selama berjam-jam, hampir saja aku diusir ketika sudah mau tutup. Namun, yang ditunggu tak juga ada.

Jadi aku memutuskan pergi, menyendiri di kamar kosanku, meratapi tugas untuk kuliahku besok. Namun bayangan gadis berkacamata itu masih saja berseliweran tanpa henti. Mengapa kemarin aku tak menyapanya saja?

Coba saja aku menyapanya, mungkin saja dia akan balas tersenyum, menyebutkan nama, dan berkata ‘Buku apa yang kamu sukai?’. Ah, mengapa aku jadi begitu kesal dengan ulahku sendiri kemarin. Guling di kamar kosan jadi pelampiasan kekesalanku, kupukul-pukul begitu saja. Kemudian kutendang. Mengapa rasanya begitu sulit?

Hari berikutnya aku datang. Kali ini, aku mengenakan jaket yang benar-benar jarang kupakai ke kampus. Kupakai sesekali jika harus pergi berkencan. Kusemprotkan wewangian di sekitarnya, kusisir rapi rambutku. Shubuh tadi habis sholat, aku seperti mendapat firasat bahwa aku akan bertemu lagi dengannya.

Kutunggu dia seperti biasa, di rak buku yang pernah ia kunjungi. Petugas yang kemarin kulihat merapikan beberapa buku. Hari ini rambutnya tampak klimis. Mungkin dia mengenakan pomade terbaru, tak bisa kubedakan apakah murah atau tidak. Tetapi hari ini dia tampak sangat klimis sekali. Novel-novel remaja tak begitu menarik, aku hanya berdiri menunggu.

Lagu khas toko buku ini sudah berulang kali diputar, tapi dia belum juga datang. Semakin siang, orang berdatangan. Ini hari minggu yang indah. Seorang ayah menggendong anaknya. Remaja-remaja duduk begitu saja di lantai, di sebelah rak komik. Aku sudah memutuskan memilih satu komik yang akan kubaca nanti malam sebelum mengerjakan tugas. Mungkin untuk mengisi malam hari nanti.

Hingga toko buku ini tutup, aku belum juga menjumpainya.

# # #

Sebulan berlalu, aku hanya dua kali mencoba keberuntunganku. Dia tak lagi ada. Gadis berkacamata yang menarik perhatianku. Senyum yang membekukan darah, menyumbat alirannya ke jantung. Beruntunglah siapapun nanti yang akan menemukannya, memilikinya. Tapi itu bukan diriku.

Malam hari setelah hari itu berlalu, aku mengerjakan tugas dengan bersemangat. Sambil membayangkan bahwa seandainya saja waktu itu aku memiliki keberanian, sedikit saja, mengulurkan tangan. Menyebut namaku.

“Hai, namaku Mahesa.”

“Aku Matahari.”

Matahari, apakah namamu memang seperti itu? Matahariku, di mana kamu saat ini?

# # #

Suatu hari, sepertiga tahun, hujan turun di kota kembang ini.  Setengah tahun berlalu cepat. Aku sudah lama tak memutuskan pergi ke toko buku itu, aku pindah ke toko buku yang lebih jauh. Aku hanya tak ingin mengingat-ingat lagi. Seperti apa rasanya jatuh cinta, tapi tak bisa memiliki. Bagaimana bisa memiliki bila aku tak sedikitpun tahu siapa dia. Dia Matahariku.

Sore ini, aku kembali ke toko buku itu. Tidak, aku tidak berharap akan bertemu lagi dengan gadis berkacamata itu. Aku hanya ingin kembali, sejenak saja untuk mengingat hari itu. Hari saat aku jatuh cinta.

Aku berdiri di dekat rak novel-novel remaja. Kubaca satu. Novel yang dulu pernah kubaca sekarang sudah dicetak tiga kali lagi. Kamu jelek, tapi aku tetap suka. Kalimat yang dulu pernah membuat nyaliku menciut.

Lama aku berdiri di situ. Tak mengerjakan apapun, buku di tanganku masih terbuka di bab pertama. Lagu khas toko buku ini mengalun pelan. Aku memejamkan mata, mengingat satu persatu kejadian hari itu. Jika saja, mungkin saja. Lalu aku membuka mata, tepat saat semuanya terasa nyata, aku melihat gadis berkacamata di depanku. Tidak, ini bukan gadis yang sama dengan yang kutemui dulu. Ini gadis berkacamata yang lain. Dia sedang berada di depanku, membaca novel remaja. Kepalanya mendongak, tersenyum kecil.

“Suka novel juga?” tanyanya.

Aku mengangguk, berbohong tentu saja. Aku menelan ludah. Dadaku dibom seseorang. Meledak, berhamburan isinya.  “Aku Mahesa.” Spontan saja aku mengulurkan tanganku.

“Aku Bulan. Aku juga senang baca novel remaja. Di Setiabudi, ada tempat penyewaan novel-novel lho. Aku biasa ke sana. Kadang sayang aja kalau harus beli. Tapi untuk beberapa novel yang kusuka, aku beli sih.” Dia tersenyum.

“Tidak, aku hanya suka beberapa saja. Kamu sering ke sini?”

Dia mengangguk. “Tempat favoritku.” Katanya dengan nada renyah, seperti wafer yang berlapis-lapis cokelat.

“Sudah selesai milih novelnya?” Dari belakang Bulan muncul seorang pria tinggi. “Aku sudah ketemu nih.” Dia mengacungkan majalah otomotif keluaran terbaru. “Pulang?”

Bulan mengangguk. Lalu dia menoleh ke arahku. “Aku balik duluan yah. Oh iya, tempat persewaan novelnya di Setiabudi No.1, dekat Masjid. Lengkap kok.” Dia lalu berlalu sambil mengandeng lelaki di belakangnya.

# # #

Hai, namaku Mentari. Aku tak tahu siapa namanya.

Aku melihatnya di rak yang sama, seperti enam bulan lalu. Dia membawa novel Conan, sambil membaca-baca novel remaja. Sudah lama ternyata, aku tak melihatnya. Astaga, aku senang sekali hari ini akhirnya aku menemukannya. Sungguh, enam bulan lalu aku ingin sekali mengulurkan tanganku, menyebutkan namaku.

“Hai, namaku Mentari.” Tapi tentu saja tak kulakukan. Aku hanya bisa berdiri beberapa langkah darinya, pura-pura membaca novel. Padahal dadaku ingin pecah. Aku bahkan tak berani meliriknya. Bahkan karena terlalu grogi, aku tak sengaja menyenggol buku, lalu buku itu berhampuran di lantai. Betapa memalukannya.

Saat mata kami bertemu, dia memandangku, astaga dia memandangku sambil tersenyum, aku mendadak ingin tenggelam ke bumi.

Hari itu, aku sepertinya jatuh cinta. Tapi entahlah, aku tak punya keberanian untuk menyapanya dulu. Aku yakin dia sudah memiliki kekasih. Orang semanis dia pasti sudah memiliki kekasih. Apakah ini nasibku yang hanya bisa memandangnya dari jauh? Memperhatikannya saja. Matanya yang meneduhkan. Senyumnya yang menentramkan.

Aku bahkan tak berani lagi untuk datang ke toko buku ini lagi. Aku takut jatuh cinta terlalu dalam kepadanya. Aku takut, hanya aku saja yang berjuang, hanya aku yang merasakan. Sementara dia tidak. Jadi kuputuskan untuk pergi dari toko buku ini, lalu enam bulan kemudian aku kembali hanya untuk mengenang dia. Mengenang senyumnya.

Tuhan terlalu baik hari ini, aku dipertemukan kembali dengannya. Aku melihatnya membaca novel di rak yang sama. Seperti saat kali pertama dulu aku melihatnya, dia masih sangat manis. Namun, dia sedang bercakap dengan wanita lain. Yang tentu saja lebih cantik dariku.

Ah, sudahlah. Mungkin aku memang hanya bisa mengagumi dari jauh. Jadi aku lebih memilih pergi. Nggak mungkin kan, dia akan datang kepadaku lalu berbisik lirih: “Kamu jelek, tapi aku tetap suka.” Nggak mungkin, kan?

Namaku Mentari. Siapa namanya? Ah, aku tak tahu. Mungkin saja namanya Mahesa. Ah ya, mungkin saja.

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read more: Kamu jelek, tapi aku tetap suka