Posts in Cerpen

Bunga terakhir di bukit patah hati

Dia ada di antara puluhan ikat bunga warna-warni berlatar senja. Duduk berdiam diri, menunggu konsumen untuk membeli bunga-bunga yang ia jual. Di belakangnya, menjulang tinggi[…]

Lelaki yang menangis di bawah hujan

Hujan turun. Dan aku menangis di bawahnya. Begitu kisah ini kumulai dengan analogi sederhana yang kuciptakan. Hujan turun, berarti langit sedang bersedih. Tumpahan air hujan[…]

Jangan, nanti

Jogja, kala itu. Masa ketika kita sedang dalam ujian, pencarian jati diri. Kamu memang justru sengaja menari-nari di dekatku, sengaja mempertontonkan bahwa kamu layak untuk[…]

Di atas awan siang itu

Jogja atau Jakarta? Entahlah, hanya kamu yang tahu jawabannya. Kamu. Jogja. Aku. Dan Kita. Lalu, kenangan ini. Kamu ingat? Tidak, aku yang ingat. Kisah ini.[…]

Untukmu, di masa lalu

Begitu memuakkan, mencintai tanpa memiliki. Yang ada, tapi tak tiada. Lebih menyebalkan, mencintai tapi tak pernah diutarakan. Bak permen karet yang menempel pada sandal, lalu[…]

Jogja, Jakarta, dan senandung di antaranya

Jakarta. Hari ini. Sejak lama, aku sudah tahu, bahwa sebenarnya aku hanyalah pilihan kedua di hidupmu. Bahkan kini aku tak yakin, apakah masih ada aku[…]

Kawan kelana

Setiap kita punya kawan. Yang perjumpaannya tidak pernah ada yang tahu. Yang perpisahannya tidak pernah tahu. Kawan kecil yang kemudian hilang. Berganti dengan kawan-kawan baru.[…]

Ibu, dan lagu rindu

Di perantauan, tak ada yang lebih merindukan daripada mendengar suara ibu mengoceh dari dapur sambil memasak, sementara aku masih meringsek di balik selimut. Saat itu,[…]

Kamu jelek, tapi aku tetap suka

Hai, namaku Mahesa. Mungkin dia namanya Matahari. Aku melihatnya di antara puluhan novel remaja yang tertata apik di toko buku. Berdiri anggun, tingginya tak lebih[…]

Tentang caramu menaklukkanku

Jogja, sore hari. Dari segala tempat yang pernah jadi kenangan, mungkin satu tempat yang akan selalu kuingat adalah tempat fotokopian di Jalan Kaliurang. Fotokopian ini[…]