Bunga terakhir di bukit patah hati

Dia ada di antara puluhan ikat bunga warna-warni berlatar senja. Duduk berdiam diri, menunggu konsumen untuk membeli bunga-bunga yang ia jual. Di belakangnya, menjulang tinggi Bukit Patah Hati, di lereng Merbabu. Bukit patah hati, begitu orang menamainya karena terlalu banyak yang datang ke sini karena patah hati. Mereka membeli bunga, lalu membawanya ke atas bukit. Konon katanya, setiap bunga yang di bawa ke atas akan mengabulkan permintaan pembawanya.

Setiap bunga membawa satu pesan, begitu kata orang.

“Berapa seikat?” tanyaku kepadanya. Dan dia menjawab dengan segurat senyum dan mata biru yang memancarkan cahaya. Sepuluh ribu, jawabnya, masih dengan senyum yang sama. 

Aku berharap bahwa nanti bunga-bunga yang kubeli akan menjelma menjadi sebuah mukjizat untukku, untuk perasaannya padaku. Konon katanya, bunga-bunga yang dibawa ke puncak bukit akan mengabulkan permohonan si pembawa. Bunga itu akan mengikat rasa cinta, mengembalikan hati yang rapuh karena patah hati. Bunga-bunga yang dibeli dari penjaja yang tersebar di sepanjang jalan setapak ke bukit. Aku pun berharap bahwa sepulang dari perjalanan ini, aku akan menemukan cintaku kembali. 

 “Sedang patah hati?” tanyanya. Dia tersenyum kembali. Jenis senyum yang menentramkan. 

Aku mengangguk pelan, lalu menggeleng kecil. Aku pun bingung, apa yang sebenarnya kurasakan kini. Rasanya seperti ingin mati. Dan mungkin di jidatku sudah tertulis sangat jelas bahwa aku sedang patah hati.

Dia tersenyum kecil menatap. Tangannya mengulur ke depan. Anggrek warna merah ada di depanku. “Ambillah, gratis untukmu.”

Kuraih anggrek itu dengan gamang. “Terima kasih.” 

“Anggrek merah melambangkan semangat, daya kekuatan, dan kekuatan cinta. Sepertinya kamu sedang membutuhkannya saat ini.” Dia menatapku. Seulas senyum terbit. “Itu gratis untukmu, Anak Muda. Duduklah.”

Aku nurut. Mengambil tempat duduk di depan sekeranjang bunga. 

“Setiap bunga memiliki arti sendiri-sendiri, melambangkan arti kehidupan. Menjadikan semangat. Bunga tulip warna putih melambangkan permintaan maaf.” Dia menunjuk bunga tulip yang masih segar. “Bunga Krisan melambangkan kasih sayang.”

“Bunga apa yang melambangkan kebencian?” tanyaku.

Matanya terbelalak seperti mencari jawab di wajahku. “Kebencian?” dia bertanya lirih. 

Aku mengangguk.

“Tentu saja, tentu saja.” Dia mengambil seikat bunga warna jingga dan menunjukkannya kepadaku. “Lily Jingga. Tidak banyak orang yang menjualnya di sini karena tak banyak yang meminta.”

Aku benci dengan diriku sendiri, benci dengan semua rasa yang ada di hatiku. Pecundang. Mengapa ada saja orang sepertiku di dunia ini? 

“Saya beli seikat.”

“Oh tidak, tidak. Aku tak menjualnya untukmu.” 

Giliran aku yang kebingungan. “Mengapa?”

“Tunggu.” Dia berdiri, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Seolah mencari sesuatu. “Hei, bocah. Sini, ada yang mau beli bungamu.” Dia berteriak kepada seorang anak kecil, kira-kira berumur dua belas tahun, yang sedang duduk di atas batu.

Tanpa lama, anak kecil itu datang. “Beli apa, Lik?” tanyanya.

“Abang ini mau beli Lily Jingga. Ada kamu seikat?”

Dia mengangguk. Tangannya cekatan mencari seikat lily jingga, setelah ketemu dia menyerahkannya padaku. 

Kuulurkan uang dua puluhan ribu. Kubiarkan tanpa kembalian. Si bocah kemudian pergi.

“Namanya Aria. Dia yatim piatu sejak berumur lima tahun. Sekarang dia tinggal bersama neneknya yang sudah tua. Dan dia mencari uang sendiri untuk membiayai sekolahnya.”

Aku paham, sekaligus terharu. Di lereng gunung seperti ini, masih ada yang peduli satu sama lain. Bukankan orang di depanku ini bersaing dengan penjual-penjual bunga lain? Sementara, di bawah sana, banyak orang yang menutup telinga. 

“Jadi, sekarang ceritakan. Kamu ke Bukit Patah Hati pasti tidak hanya ingin membeli bunga.”

Aku mengambil nafas panjang. Dia memang benar. Aku ke sini tak hanya untuk membeli bunga, mengamati keindahan senja. Tetapi aku ke sini, karena aku ingin menenangkan diri. Mungkin di Bukit Patah Hati aku akan menemukan jawaban. Menemukan hatiku yang telah jadi serpihan debu. 

Matahari mulai berubah warna. Sejingga seikat bunga yang kupegang sekarang. Dan berlatar langit yang ikutan berwarna jingga, aku bercerita. Kepada seseorang lelaki yang baru saja kukenal. Seseorang yang entah siapa. Seseorang yang ada di Bukit Patah Hati, menjual bunga. Tetapi aku menceritakannya dengan lancar. Mungkin karena aku memang butuh seseorang untuk bercerita. Bukan lagi seorang kawan, yang mendengarkan. Bukan lagi mereka yang menasehati. Tetapi aku butuh seseorang, yang hanya mendengarkan. Seseorang yang lain.

Dan dialah orangnya. 

Dia yang duduk di belakang sekeranjang bunga warna-warni. Dia yang terus tersenyum sepanjang waktu. Dia yang kurasa juga tampan. 

Kumulai ceritaku. 

Dan dia mendengarkan. 

Namanya Karya. Dan dia berumur 55 tahun.

# # #

Lik Karya, begitu aku kemudian memanggilnya, tampak mengangguk-angguk mendengarkan ceritaku. 

Aku mulai bercerita dengan satu nama : Kirana, orang-orang memanggilnya Rana. Aku mengenalnya setahun lalu di sebuah acara kampus. Aku dikenalkan oleh seorang teman. Dan saat itu, aku mulai jatuh cinta dengan Rana. Rana adalah jawaban atas doa-doaku selama ini. Rana setinggi diriku, selalu tersenyum di setiap kesempatan, matanya hitam, hidungnya bangir. Aku butuh sekian detik untuk menenangkan diri ketika berkenalan dengannya. Jantungku mendadak berhenti, hatiku dipenuhi jutaan bunga warna-warni. Dia memiliki senyuman yang menentramkan hati.

Bagiku, dia sempurna.

Jatuh cinta memang buta, begitu kata orang. Dan kebutaan itulah yang membuatku selalu berandai-andai. Andai saja aku bisa selalu dekat dengannya, andai saja dia menjadi milikku.

Andai saja, aku berani bilang kepadanya. Tetapi sungguh, mulut terpaksa menjadi beku, langkah menjadi kaku. Apakah semua pria yang jatuh cinta akan mendadak menjadi tidak memiliki otak? 

Suatu kali, aku menonton acara musik di fakultas sebelah. Aku bersama sahabat dekatku, Gerry. Tebak apa yang terjadi. Aku bertemu Rana di sana. Masih dengan pesona yang sama, dia menyapaku.

“Hei, ketemu lagi,” dia tersenyum lebar, membuat dunia berhenti berputar. Hanya ada aku dan dia. Musik mendadak mendayu-dayu, liriknya berubah romantis. 

Dan satu kegilaan yang tiba-tiba muncul di otakku : mungkin dia berjodoh denganku. 

Tuhan seperti mendengar semua doa dalam hati. Gerry pulang duluan karena ceweknya minta dijemput sepulang les bahasa inggris. Hujan gerimis, aku terpaksa berteduh sebentar. Dan kemudian, ada dia. Di sampingku.

“Mengapa belum pulang?” tanyaku.

Dia menggeleng. “Masih menunggu jemputan. Lagian hujan.” Dia tersenyum. 

Hujan cukup lama turun. Nadanya mengiringi obrolan kami berdua. Mulai dari sekedar basa-basi, berlanjut ke cerita tentang film, musik, kuliah, ekonomi. Baiklah, aku mulai berpikiran yang tidak-tidak. Aku cocok sekali dengannya.

Malam itu berakhir indah. Jemputan dia tak pernah datang. Aku menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang. Dan dia setuju karena hari telah beranjak malam. 

Apakah perlu kujelaskan, apa yang terjadi hari-hari berikutnya?

# # #

“Jadi kamu mendekatinya?” tanya Lik Karya dengan tatapan penuh tanya. 

Kami mulai akrab. Bahkan Lik Karya menolak beberapa pelanggan yang datang kepadanya. Dia menikmati ceritaku. Dan semua pelanggan yang datang kepadanya, ia berikan kepada Aria—bocah yatim piatu tadi. Ada yang tak peduli, kebanyakan kecewa. Karena Lik Karya terkenal dengan penjual bunga yang ramah. Penjual bunga yang suka mendengarkan cerita. Itulah yang kudengar dari orang-orang kampung yang menawariku Jip untuk naik ke bukit ini tadi pagi. 

Jika kamu sampai di atas sana, cari saja Lik Karya. Dia penjual bunga yang spesial, suka mendengarkan cerita-cerita orang. Dan dia nanti akan bercerita tentang kisah cintanya yang sangat luar biasa. 

Aku mengangguk untuk memberi jawaban. “Sebulan.”

“Sebulan?”

“Aku mengangguk. Tetapi, dia sangat cuek. Membalas semua pesanku dengan singkat. Selalu menghindar. Tetapi, aku sudah terlanjur mencintainya. Terlanjur menyayanginya. Kuberi dia kejutan, kukirimi sepotong cokelat, lalu seikat bunga.”

“Lalu kamu mengatakan bahwa kamu mencintainya?”

“Tentu saja, via telepon.”

“Via telepon?” Lik Karya sedikit berteriak. Dia membuang muka. “Sungguh bukan laki-laki kamu.”

Aku sedikit mendelik mendengar ucapannya. Sedikit tersinggung. 

“Apa jawaban dia?” tanyanya.

“Dia tak menjawab.” Aku mendengus. “Dia hanya menjauh.”

“Tentu saja, aku pun akan melakukan hal yang sama ketika jadi dia.”

Aku terdiam. 

“Lantas, apa yang kamu lakukan.”

“Aku mundur. Aku melupakannya. Aku patah hati.”

Dan Lik Karya kini memukul kepalaku. “Mengapa kamu cepat sekali patah semangatnya?” 

# # #

Senja mulai berubah menghitam. Ceritaku pun telah selesai. Aku dan Lik Karya sama-sama terdiam. Kemudian dia membereskan bunganya yang tinggal seikat. 

“Hari sudah mau malam, saya harus pulang,” ucapnya. 

Jadi, hanya berakhir seperti ini? Bukankah orang-orang tadi bilang bahwa Lik Karya akan bercerita, bukankah ceritanya akan membuatku bersemangat lagi. 

“Apa rencanamu? Apakah kamu akan melanjutkan perjalanan ke atas bukit, meletakkan bungamu, lalu berdoa di sana?”

Aku tak menjawab. Aku berharap dia mengerti, saat ini aku membutuhkan dukungan. 

Lik Karya seperti menyadari kegelisahanku. Dia menghentikan gerakannya untuk membereskan bunga-bunga. 

“Aku akan menemanimu ke atas. Bawa bunga ini.” Dia menyodorkanku bunga mawar putih kepadaku. “Mawar adalah bentuk sempurna dari cinta, Anak Muda. Kelopaknya indah. Satu kelopak menandakan rasa cinta yang ditata sedemikian rupa menjadi bentuk yang sempurna. Menawan, paling indah dari bunga-bunga mana pun. Bahkan ketika masih kuncup. Mawar merah menggambarkan keberanian, rasa cinta, kecantikan, dan romantisme. Mawar kuning untuk seseorang yang ingin mengenang orang lain, bunga kenangan. Mawar jingga berarti kekaguman akan cinta dan jika kamu memberikannya pada seseorang maka kamu seperti berkata ‘Aku ingin kamu menjadi bagian hidupku’. Mawar biru berarti misteri. Mawar Hijau melambangkan ketenangan.”

“Mawar putih?” aku bertanya, memotong. Tak sabar mengapa ia memberiku mawar putih.

Dia menghela nafas sambil menatap mega yang sedikit menghitam. Untuk ukuran pria yang sudah paruh baya, mukanya masih terlihat kencang. 

“Mawar putih menggambarkan cinta sejati, kemurnian, kesungguhan, kelembutan, kesucian, kerendahan hati. Semuanya atas nama cinta. Aku selalu memberikan mawar putih untuk orang-orang yang merasa patah hati,” ujarnya kepadaku. Ia tersenyum. “Dan orang-orang sepertimu, orang-orang yang membutuhkan kesungguhan untuk mengungkapkan rasa cinta.”

Kami berdua berjalan beriringan. Langit jingga perlahan menghitam. Angin semilir menembus pakaian. Suara burung berseliweran di atas kepala. 

Lik Karya mengeluarkan senter kecilnya, menerangi jalan kami. 

“Aku pun sangat menyukai mawar putih,” dia mulai bercerita. “Dia melambangkan cinta sejati yang suci. Waktu aku menikah dulu, aku melamar kekasihku dengan ribuan mawar putih yang kurangkai sendiri. Kubawa dia ke sebuah danau, kami naik sampan berdua yang dipenuhi dengan bunga mawar putih. Aku melamarnya di sana. Dan sebagai jawaban, dia menebarkan bunga mawar itu ke danau. Menebarkan cintanya.”

“Kamu pasti sangat menyukainya,”

“Tentu saja. Aku berjuang mati-matian untuk mendapatkannya.”

Aku berhenti, memandang wajahnya dengan serius. “Berjuang mati-matian?”

Lik Karya mengangguk. “Dia adalah wanita tercantik di desa, dan aku hanyalah seorang pemuda biasa. Banyak orang yang menyukainya. Saat itu aku tak pernah punya keberanian untuk bilang kepadanya bahwa aku sangat menyukainya.”

Aku terdiam. Kami melanjutkan perjalanan.

“Suatu kali aku memberanikan diri untuk bilang kepadanya bahwa aku mencintainya.” 

“Kamu diterima?”

“Tentu saja ditolak.” Dia tertawa. Aku tertegun. “Cinta tak semudah itu, Anak Muda. Dia menolakku dan bilang bahwa dia tidak mencintaiku. Hatiku hancur saat itu, aku terpuruk. Tetapi aku sadar, semakin aku terpuruk semakin aku akan menderita. Dan dia akan melihat bahwa aku adalah lelaki yang lemah.”

“Jadi, apa yang kamu lakukan?”

“Kutunjukkan bahwa aku benar-benar mencintainya dengan cara-cara yang dewasa. Aku tak memaksanya untuk mencintaiku. Tetapi aku akan mencintainya. Bukankah itu arti mencintai yang sesungguhnya, ketika kita ikhlas memberikan rasa cinta kita tanpa mengharapkan apa-apa. Tetapi disitulah letak serunya ketika mencintai seseorang, ketika kita berjuang.”

Wajahnya tampak bersinar.

Lik Karya melanjutkan, “Kukatakan lagi bahwa aku mencintainya, dan dia masih menolakku. Kukatakan lagi untuk ketiga kalinya. Mungkin dia melihat kesungguhanku itu, dia luruh. Dia akhirnya menerima cintaku. ”

Aku terdiam. Jadi apalah artinya aku yang patah hati karena ditolak sekali oleh wanita?

“Cinta butuh berjuang. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Seperti meraih impian, meraih cinta juga harus dengan kesungguhan, keberanian, pantang menyerah. Jika kamu menginginkan cinta sejati, kamu akan melewati hal-hal itu. Kecuali, kamu tidak benar-benar mencintainya. Dan tentu saja….” Lik Karya memotong ucapannya.

Aku menunggu kalimatnya. 

Lik Karya kali ini mengucapkan dengan senyuman paling lebar. “Dan tentu saja kamu harus selalu siap saat dia menyakitimu. Namun karena kamu mencintainya, kamu akan tetap tegar.”

Kami berdua telah sampai di atas bukit. Kuletakkan bunga mawar putihku di sana dan bertekad untuk mengejar cinta sejatiku lagi. 

“Jangan sampai kamu menyesal karena tak mengatakan bahwa kamu mencintainya. Katakan langsung, katakan padanya, buktikan kesungguhanmu. Jangan sampai kamu menyesal karena melihat dia bersanding dengan orang lain,” ujarnya lagi.

Aku mengangguk. 

“Kamu tak meletakkan bungamu, Lik?” tanyaku, kulihat ada seikat mawar merah yang melambangkan romantisme di keranjangnya. 

Lik karya menggeleng. “Aku selalu menyisakan seikat mawar untuk kekasihku, istriku tercinta di rumah. Aku selalu berjanji akan menyisakan satu ikat mawar untuknya, lambang cintaku. Dia sedang tidak enak badan, jadi aku akan memberikan semangat untuknya. Mawar merah melambangkan cinta dan romantisme, kan?”

Aku tersenyum lagi. Rasanya aku seperti mendapatkan suntikan semangat. Malam itu, kami berpisah. Di tanganku masih tersisa satu batang mawar putih, sebagai semangatku untuk sampai ke kota.

# # #

Aku sampai di lereng bukit sudah hampir malam, tetapi suasana masih ramai. Aku mampir ke warung kopi yang tampak ramai. Kupesan satu cangkir kopi dan sepiring pisang goreng hangat. 

“Dari atas bukit, Anak Muda?” tanya si penjaja.

Aku mengangguk sambil kuseruput kopi panas. “Sedang patah hati,” kukatakan dengan tertawa. Aku tak ingin terlihat sedih saat ini.

“Beli bunga dengan siapa di atas?”

“Lik Karya,” jawabku. “Dia menemaniku sampai ke atas bukit.”

“Wah beruntung sekali kamu bisa ditemani Lik Karya sampai ke atas. Dia pasti bercerita banyak.”

“Ya, dia bercerita tentang kisah cinta sejatinya. Aku salut padanya atas perjuangannya. Aku jadi bersemangat kini.”

Si penjaja kopi tersenyum. “Tentu saja, tentu saja. Sudah sepantasnya dia berbagi ceritanya. Tapi….” Si penjaja menggantungkan ceritanya. “apa yang ia katakan tentang istrinya kepadamu?”

“Istrinya sakit, dan tadi dia membawakan satu ikat mawar merah untuk istrinya. Apakah dia memang selalu melakukannya?”

“Iya, dia selalu menyisakan satu ikat mawar untuk istrinya.” Si Penjaja menatapku. “Tapi kamu harus tahu, istrinya sekarang sudah meninggalkannya seorang diri.”

Aku hampir tersedak. “Apa maksudmu, Lik?”

# # #

Rumah itu tampak indah, meskipun sederhana. Seperti pemiliknya yang selalu tersenyum di antara ribuan bunga di atas bukit patah hati. Pun dengan rumahnya sekarang yang dikelilingi ribuan bunga warna-warni. 

Aku memandangnya dari kejauhan. Rumah yang terletak di lereng bukit, tampak sangat mencolok. Rumah yang Lik Karya dedikasikan untuk istrinya, maksudku untuk mantan istrinya.  

Tadi malam, si penjaja kopi bilang padaku bahwa sehari sebelum Lik Karya menikah, istrinya pergi dengan seorang saudagar kaya raya ke kota. Meninggalkan Lik Karya seorang diri. Pesta sudah hampir digelar. Lik Karya sudah menyiapkan pesta paling megah. Ribuan bunga menghiasi rumahnya. Tetangga-tetangga tampak terpana melihat persiapannya. Tetapi semua itu berakhir, ia dikhianati. 

Aku jadi teringat kata-kata Lik Karya kemarin sore.

“Cinta butuh berjuang. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali. Seperti meraih impian, meraih cinta juga harus dengan kesungguhan, keberanian, pantang menyerah. Jika kamu menginginkan cinta sejati, kamu akan melewati hal-hal itu. Kecuali, kamu tidak benar-benar mencintainya. Dan tentu saja, kamu harus selalu siap saat dia menyakitimu. Namun karena kamu mencintainya, kamu akan tetap tegar.”

Kamu harus selalu siap saat dia menyakitimu….kata-kata itu terus terngiang-ngiang di kepala.

Dari kejauhan, kulihat Lik Karya yang semangat menyirami bunga-bunganya. Mungkin, itu adalah bentuk cinta sejatinya, meskipun dia telah dikhianati. Mungkin, bunga-bunga itu menjadi yang terakhir menemaninya, di sini. Di bukit patah hati. Seperti hatinya, yang tandus dan kering, tetapi tetap tumbuh bunga-bunga berwarna-warni. Bahwa dia akan tetap menjaga cintanya.

# # #

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read more: Bunga terakhir di bukit patah hati