Dia ada di antara puluhan ikat bunga warna-warni berlatar senja. Duduk berdiam diri, menunggu konsumen untuk membeli bunga-bunga yang ia jual. Di belakangnya, menjulang tinggi[…]
Hujan turun. Dan aku menangis di bawahnya. Begitu kisah ini kumulai dengan analogi sederhana yang kuciptakan. Hujan turun, berarti langit sedang bersedih. Tumpahan air hujan[…]
Jogja, kala itu. Masa ketika kita sedang dalam ujian, pencarian jati diri. Kamu memang justru sengaja menari-nari di dekatku, sengaja mempertontonkan bahwa kamu layak untuk[…]
Jogja atau Jakarta? Entahlah, hanya kamu yang tahu jawabannya. Kamu. Jogja. Aku. Dan Kita. Lalu, kenangan ini. Kamu ingat? Tidak, aku yang ingat. Kisah ini.[…]
Begitu memuakkan, mencintai tanpa memiliki. Yang ada, tapi tak tiada. Lebih menyebalkan, mencintai tapi tak pernah diutarakan. Bak permen karet yang menempel pada sandal, lalu[…]
Jakarta. Hari ini. Sejak lama, aku sudah tahu, bahwa sebenarnya aku hanyalah pilihan kedua di hidupmu. Bahkan kini aku tak yakin, apakah masih ada aku[…]
Setiap kita punya kawan. Yang perjumpaannya tidak pernah ada yang tahu. Yang perpisahannya tidak pernah tahu. Kawan kecil yang kemudian hilang. Berganti dengan kawan-kawan baru.[…]
Saat aku kelas 2 SMA, aku pernah menulis cerpen berjudul Lonceng Kematian. Paragraf pertamanya dimulai seperti ini: Sepertinya malam telah menelan keramaian kota. Kengerian tercipta[…]
Di perantauan, tak ada yang lebih merindukan daripada mendengar suara ibu mengoceh dari dapur sambil memasak, sementara aku masih meringsek di balik selimut. Saat itu,[…]
Di tanah asing ini. Bandung. Rindu. Pilu. Berjarak padamu bukan suatu ketenangan. Perpisahan darimu dimulai dari hal-hal yang tak kuinginkan, kemudian kita pergi sendiri-sendiri. Meraih[…]