Ibu, dan lagu rindu

Di perantauan, tak ada yang lebih merindukan daripada mendengar suara ibu mengoceh dari dapur sambil memasak, sementara aku masih meringsek di balik selimut. Saat itu, beberapa tahun yang lalu. Semangat pagi belum juga menghalau rasa kantuk dan malasku, mendekap manja guling, bantal, dan sisa-sisa mimpi semalam. Rasanya kok malas harus berlomba dengan Bapak-bapak berkaki kuat berwarna cokelat yang mengayuh cepat sepeda tuanya, ke utara Jogja. Rasanya kok ya malas menanti fajar menyingsing hari, mengganti warna malam menjadi pagi. Si ibu masih ada di dapur, menggoreng tempe, wanginya belum juga menggoyahkan tidurku.

Dari semua suara yang ingin kudengar di perantauan, ternyata bukan suara kamu. Tuhan saja menyebut ibu tiga kali, jadi maaf, kurindukan ibu dulu di perantauan.  Baru suara-mu.

Bersamanya dulu terasa jelas, kupikir beliau tak lebih dari debu-debu pengganggu. Pagi-pagi membangunkan dengan suaranya yang melengking, menggedor pintu, lalu jikapun bangun akan terus ada suara-suara itu. Mentari sedang tersenyum, sementara aku keluar kamar dengan muka tak ingin bangun. Tiga bulan di perantauan, setiap malam adalah penyiksaan karena suara ibu menggema di langit-langit kamar. Saat membuka mata, pengen juga rasanya mendengar ibu mengomel sepanjang pagi, bahkan sang mentari pun akhirnya berhenti bernyanyi. Namun, aku, ibu, tak lagi dalam satu frekuensi waktu.

Namun frekuensi itu akan mengendur seiring berjalannya waktu, seiring dengan bertambahkan teman, dan kesibukan. Jadi jika malam biasanya sekali kuhabiskan dengan bercerita bersama Ibu, maka selanjutkan hanya akan ada dua hari kemudian, lalu tiga, empat, seminggu, lalu dua minggu. Sampai ibu pun yang menyempatkan belajar bagaimana cara memencet nomor di ponsel yang kuberikan.

Ah ibu, betapa bodohnya anakmu ini di perantauan sampai-sampai lupa untuk bercerita kembali bagaimana suasana pagi di sini, berlomba dengan bus-bus kota yang mengeluarkan asap menghitam, padahal dulu tanpa kamu minta pun akan aku ceritakan. Betapa anehnya anakmu ini, sampai-sampai tak lagi cerita tentanng masakan-masakan enak nan mahal di restoran Jepang, tetapi tempe gorenganmu ternyata lebih menyenangkan. Ah ibu, betapa mungkin kamu menungguku bercerita tentang orang yang sedang menyenangkan hatiku, yang kucurahkan hidup dan hari-hariku, mungkin melebihi kamu kemudian.

Kemudian datanglah seorang kawan, di malam-malam tanpa bintang di langit perantauan. Kami bercerita di warung kopi, betapa ramainya tak tertandingi. Karena di sinilah katanya orang-orang menemukan kebahagiaan tersendiri. Entahlah, aku belum bisa membandingkan. Tetapi, dulu saat sebulan di perantauan dan aku diajak ke sini, bagiku teh panas manis buatanmu lebih mengasyikkan. Tetapi entalah, itu pendapatku sebulan saat aku datang. Kini, sudah bertahun lamanya, aku mulai terbiasa dengan tawa kepalsuan orang-orang. Mungkin, nanti aku akan bercerita sendiri tentang kedai ini. Kopi ini. Orang-orang ini.

Kawanpun datang. Bercerita bahwa Ibunya baru saja menghadap Tuhan, padahal dia baru saja pulang dari Tanah Eropa yang ia idam-idamkan, menambah gelar di belakang nama, mengganti jabatan dari perusahaan asing yang ia agung-agungkan. Jangan tanya apakah dia membawa uang, tanyakan saja berapa mobil mewah, yang hendak ia parkirkan di garasi rumah. Tanyakan saja, berapa gadis yang mengantri untuk ia halalkan. Tanyakan saja, berapa waktu yang telah ia habiskan untuk di belakang meja kantor mengurus pekerjaan.

Aku bertanya, apa yang kamu harapkan?

Kawanku menjawab, aku hanya ingin mendengarkan ibu ada di sampingku, menceritakan dongeng-dongeng tentang Bulan dan Bintang-bintang, atau cerita tentang Roro Jonggrang. Kepalaku dielus-elus sayang, sementara aku menerawang, mencoba membayang betapa cantik dan hebatnya Roro Jongkrang. Tak apalah kami bercerita di bawah gubuk, berteman pisang goreng, dan teh hangat.

Kawanku menatapku, mengakhiri kisahnya. Mulutnya bergetar.

“Ibu, aku merindukanmu, jika boleh kuputar ulang waktu, mungkin malamku akan kembali diisi oleh omelan darimu. Tak apa. Buatku itu seru. Aku rindu.”

# # #

Kepada Mamak yang sekarang sudah tenang di sana, salam rindu dan doa untukmu ya Mak. 

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read more: Ibu, dan lagu rindu